Konflik Keluarga dan Rasa Ketidakpercayaan Diri
Keluargaku terdiri dari 4 bersaudara. Aku adalah anak bungsu (bontot). Aku memiliki 1 orang kakak perempuan dan 2 orang kakak laki-laki. Tetapi, 1 kakak lelaki yang lahir pas 1 tahun di atasku, sudah mendahului kami sewaktu ia berusia 3 hari dan aku bahkan ibukupun belum pernah melihat wajahnya seperti apa. Selisih umurku dengan kakak perempuanku adalah 11 tahun dan 9 tahun dengan kakak lelakiku. Selisih umur kami memang sangat jauh bahkan aku sempat ingin digugurkan oleh ibuku dengan alasan ibuku masih takut melahirkan.
Dari kecil, aku memang disayang oleh keluargaku. Tetapi, mengapa seringkali ayah dan ibuku membanding-bandingkan antara aku dengan kedua kakakku yang mungkin lebih rajin dan lebih SMART daripada aku. Pembandingan itu mulai terlihat ketika aku kelas 4 SD. Ku akui, aku memang belum bisa membereskan rumah di usia itu. Sedangkan kakak-kakakku ketika kelas 3 SD sudah bisa mengurus rumah selama ayah ibuku berjualan di pasar. Keadaan sudah berbeda ketika aku lahir. Ayahku sudah bekeja di sebuah toko roti dan ibuku buka usaha menjahit di rumah. Mungkin karena aku sangat dimanja saat kecil, jadi aku tidak serajin dan semandiri kakak-kakakku.
Pembandingan itu juga terjadi pada prestasi akademikku. Sejak kelas 2 SD hingga SMA, kakak-kakakku selalu mendapat beasiswa baik dari sekolah maupun arisan keluarga. Sedangkan aku, 4 adalah ranking tertinggiku sewaktu aku SD – SMP. Karena itu, orang tuaku suka membandingkan kami bertiga. Terutama diwaktu memarahiku. Mungkin memang pantas jika mereka membandingkanku karena aku anak paling bodoh dari ketiga kakakku.
Sempat terlintas dipikiranku bahwa aku bukan anak kandung atau aku tertukar sewaktu di rumah sakit. Dan aku juga pernah menanyakannya kepada ibuku. Namun, ibuku meyakinkan bahwa aku ini anak kandungnya. Malah yang hampir tertukar adalah kakak lelakiku. Terkadang aku bosan karena pembandingan tersebut. Sampai pada aku akhirnya mendapat beasiswa dari sekolah dan arisan keluarga ketika kelas 2 SMA hingga lulus. Bahkan aku juga lulus SMA dengan nilai yang lebih tinggi dari kakak-kakakku.
Aku kira, pembandingan itu berkurang karena kakak perempuanku telah menikah. Tapi malah semakin terlihat kepilihkasihan ibuku kepada kakak lelakiku. Padahal, kata orang anak bontot itu lebih disayang daripada kakak-kakaknya. Ibu selalu menyiapkan sarapan untuk kakakku. Walaupun tidak pernah disantap oleh kakakku. Tetapi, aku tidak pernah dibuatkan sarapan padahal aku selalu sarapan. Yah, apa boleh buat, aku harus membuat sendiri sarapanku. Aku tidak pernah protes akan hal itu. Hingga sampai pada satu waktu, kakakku mengkhianati kasih sayang ibuku yang berlebih kepadanya. Kakakku kabur dari rumah karena ibuku tidak menyetujui hubungannya dengan pacarnya yang berbeda agama dan negara.
Mulai saat itu perhatian ibu kepada kakak lelakiku berkurang. Perasannku campur aduk saat itu. Di satu sisi, aku senang karena perahtian ibu sudah sepenuhnya tercurah padaku. Tapi di sisi lain, aku juga sedih karena ibu tiap selesai shalat selalu menangis karena ulah kakakku itu. Setelah 1 bulan kabur, akhirnya kakakku pulang kembali. Alhamdulillah, sikap ibu tidak seperti dulu. Dan alhamdulillah juga, ayahku selalu memperhatikanku. Tapi entah mengapa, selalu saja aku dan ayah berbeda pendapat. Yah, mungkin itu memang hal yang wajar.
Yah, mungkin sikap selalu membandingkan itu dilakukan orang tuaku agar aku mencontoh semua hal positif yang ada pada kakak-kakakku dan supaya aku bisa lebih baik daripada mereka. Mungkin dulu pikiranku masih seperti anak kecil. Tapi sekarang aku sudah mulai dewasa dan aku sudah bisa mencerna apa maksud dari pembandingan-pembandingan tersebut.
Dalam setiap keluarga pasti selalu ada konflik yang mewarnainya. Hal-hal di atas adalah warna-warni dalam keluargaku. Dan aku harus menjalaninya dengan lapang dada walaupun agak kesal karena selalu dibandingkan dengan kakakku. Aku tetap dan memang harus sayang kepada mereka bagaimanapun keadaannya. Karena tanpa mereka aku bukan apa-apa dan aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi seperti sekarang ini.
Yah, walaupun banyak orang yang meremehkan pendidikanku ini karena aku kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Banyak yang menyayangkan pilihanku ini. Orang luar bilang, ”Yah, buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi kalau jurusannya cuma Bahasa Indonesia. Itu kan bahasa yang sudah kamu pelajari dari kecil. Sayang-sayang biayanya..!” Mendengar kata-kata mereka aku sempat ,merasa tidak percaya diri (minder). Aku sempat malu bila menjawab pertanyaan, ”Kamu kuliah di jurusan apa?”. memang, tidak semua orang terang-terangan menyayangkan pilihanku ini. tetapi, tetap saja ekspresi wajah mereka terlihat berbeda setelah aku bilang aku kuliah di jurusan Bahasa Indonesia.
Disaat itu perhatian dan dorongan keluragaku terlihat jelas. Ibuku, ayahku, kakak-kakakku meyakinkanku bahwa kuliah yang kujalani ini tidaklah sia-sia. Karena masih banyak orang di luar sana yang menginginkan kuliah di jurusanku tetapi mereka tidak bisa meraihnya. Lalu, kalau bukan kuliah di jurusan Bahasa Indonesia, siapa nanti yang akan mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia pada generasi selanjutnya? dan dengan aku kuliah di jurusan Bahasa Indonesia aku bisa melestarikan bahasa Indonesia ke negara lain bahkan bisa menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Nah, mulai saat itu kepercayaan diriku kembali dan aku tidak perlu malu lagi untuk menyebutkan jurusanku. Terima kasih ayah, ibu. Karena berkat doa, dorongan, dan pembandingan kalian, aku bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Terima kasih juga kakak-kakakku. Karena kalian telah menjadi contoh yang baik untukku meski kadang ada sisi kurang baik dari kalian. Yah, namanya juga manusia, NOBODIES PERFECT!! Ya kan???
Keluargaku terdiri dari 4 bersaudara. Aku adalah anak bungsu (bontot). Aku memiliki 1 orang kakak perempuan dan 2 orang kakak laki-laki. Tetapi, 1 kakak lelaki yang lahir pas 1 tahun di atasku, sudah mendahului kami sewaktu ia berusia 3 hari dan aku bahkan ibukupun belum pernah melihat wajahnya seperti apa. Selisih umurku dengan kakak perempuanku adalah 11 tahun dan 9 tahun dengan kakak lelakiku. Selisih umur kami memang sangat jauh bahkan aku sempat ingin digugurkan oleh ibuku dengan alasan ibuku masih takut melahirkan.
Dari kecil, aku memang disayang oleh keluargaku. Tetapi, mengapa seringkali ayah dan ibuku membanding-bandingkan antara aku dengan kedua kakakku yang mungkin lebih rajin dan lebih SMART daripada aku. Pembandingan itu mulai terlihat ketika aku kelas 4 SD. Ku akui, aku memang belum bisa membereskan rumah di usia itu. Sedangkan kakak-kakakku ketika kelas 3 SD sudah bisa mengurus rumah selama ayah ibuku berjualan di pasar. Keadaan sudah berbeda ketika aku lahir. Ayahku sudah bekeja di sebuah toko roti dan ibuku buka usaha menjahit di rumah. Mungkin karena aku sangat dimanja saat kecil, jadi aku tidak serajin dan semandiri kakak-kakakku.
Pembandingan itu juga terjadi pada prestasi akademikku. Sejak kelas 2 SD hingga SMA, kakak-kakakku selalu mendapat beasiswa baik dari sekolah maupun arisan keluarga. Sedangkan aku, 4 adalah ranking tertinggiku sewaktu aku SD – SMP. Karena itu, orang tuaku suka membandingkan kami bertiga. Terutama diwaktu memarahiku. Mungkin memang pantas jika mereka membandingkanku karena aku anak paling bodoh dari ketiga kakakku.
Sempat terlintas dipikiranku bahwa aku bukan anak kandung atau aku tertukar sewaktu di rumah sakit. Dan aku juga pernah menanyakannya kepada ibuku. Namun, ibuku meyakinkan bahwa aku ini anak kandungnya. Malah yang hampir tertukar adalah kakak lelakiku. Terkadang aku bosan karena pembandingan tersebut. Sampai pada aku akhirnya mendapat beasiswa dari sekolah dan arisan keluarga ketika kelas 2 SMA hingga lulus. Bahkan aku juga lulus SMA dengan nilai yang lebih tinggi dari kakak-kakakku.
Aku kira, pembandingan itu berkurang karena kakak perempuanku telah menikah. Tapi malah semakin terlihat kepilihkasihan ibuku kepada kakak lelakiku. Padahal, kata orang anak bontot itu lebih disayang daripada kakak-kakaknya. Ibu selalu menyiapkan sarapan untuk kakakku. Walaupun tidak pernah disantap oleh kakakku. Tetapi, aku tidak pernah dibuatkan sarapan padahal aku selalu sarapan. Yah, apa boleh buat, aku harus membuat sendiri sarapanku. Aku tidak pernah protes akan hal itu. Hingga sampai pada satu waktu, kakakku mengkhianati kasih sayang ibuku yang berlebih kepadanya. Kakakku kabur dari rumah karena ibuku tidak menyetujui hubungannya dengan pacarnya yang berbeda agama dan negara.
Mulai saat itu perhatian ibu kepada kakak lelakiku berkurang. Perasannku campur aduk saat itu. Di satu sisi, aku senang karena perahtian ibu sudah sepenuhnya tercurah padaku. Tapi di sisi lain, aku juga sedih karena ibu tiap selesai shalat selalu menangis karena ulah kakakku itu. Setelah 1 bulan kabur, akhirnya kakakku pulang kembali. Alhamdulillah, sikap ibu tidak seperti dulu. Dan alhamdulillah juga, ayahku selalu memperhatikanku. Tapi entah mengapa, selalu saja aku dan ayah berbeda pendapat. Yah, mungkin itu memang hal yang wajar.
Yah, mungkin sikap selalu membandingkan itu dilakukan orang tuaku agar aku mencontoh semua hal positif yang ada pada kakak-kakakku dan supaya aku bisa lebih baik daripada mereka. Mungkin dulu pikiranku masih seperti anak kecil. Tapi sekarang aku sudah mulai dewasa dan aku sudah bisa mencerna apa maksud dari pembandingan-pembandingan tersebut.
Dalam setiap keluarga pasti selalu ada konflik yang mewarnainya. Hal-hal di atas adalah warna-warni dalam keluargaku. Dan aku harus menjalaninya dengan lapang dada walaupun agak kesal karena selalu dibandingkan dengan kakakku. Aku tetap dan memang harus sayang kepada mereka bagaimanapun keadaannya. Karena tanpa mereka aku bukan apa-apa dan aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi seperti sekarang ini.
Yah, walaupun banyak orang yang meremehkan pendidikanku ini karena aku kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Banyak yang menyayangkan pilihanku ini. Orang luar bilang, ”Yah, buat apa kamu kuliah tinggi-tinggi kalau jurusannya cuma Bahasa Indonesia. Itu kan bahasa yang sudah kamu pelajari dari kecil. Sayang-sayang biayanya..!” Mendengar kata-kata mereka aku sempat ,merasa tidak percaya diri (minder). Aku sempat malu bila menjawab pertanyaan, ”Kamu kuliah di jurusan apa?”. memang, tidak semua orang terang-terangan menyayangkan pilihanku ini. tetapi, tetap saja ekspresi wajah mereka terlihat berbeda setelah aku bilang aku kuliah di jurusan Bahasa Indonesia.
Disaat itu perhatian dan dorongan keluragaku terlihat jelas. Ibuku, ayahku, kakak-kakakku meyakinkanku bahwa kuliah yang kujalani ini tidaklah sia-sia. Karena masih banyak orang di luar sana yang menginginkan kuliah di jurusanku tetapi mereka tidak bisa meraihnya. Lalu, kalau bukan kuliah di jurusan Bahasa Indonesia, siapa nanti yang akan mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia pada generasi selanjutnya? dan dengan aku kuliah di jurusan Bahasa Indonesia aku bisa melestarikan bahasa Indonesia ke negara lain bahkan bisa menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Nah, mulai saat itu kepercayaan diriku kembali dan aku tidak perlu malu lagi untuk menyebutkan jurusanku. Terima kasih ayah, ibu. Karena berkat doa, dorongan, dan pembandingan kalian, aku bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Terima kasih juga kakak-kakakku. Karena kalian telah menjadi contoh yang baik untukku meski kadang ada sisi kurang baik dari kalian. Yah, namanya juga manusia, NOBODIES PERFECT!! Ya kan???
0 komentar:
Posting Komentar